ASAL USUL TOLITOLI

Nama Tolitoli terdengar sangat menarik dan Khas. Mengenai asal-usul nama Tolitoli, menurut legenda, berasal dari kata Totolu yang artinya tiga. Maksudnya, suku bangsa Tolitoli berasal dari 3 manusia kayangan yang menjelma ke bumi ini masing-masing melalui: olisan Bulan (bambu Emas), Bumbung Lanjat (puncak pohon Langsat), dan Ue saka (sejenis Rotan). Yang menjelma Olisan Bulan di Kenal sebagai Tau Dei Baolan atau Tamadika Baolan. Yang menjelma melalui Ue saka dikenal sebagai Tau Dei Galang atau Tamadika Dei Galang. Sedangkan putri yang menjelma melalui bumbung Lanjat dikenal sebagai Tau Dei Bumbung Lanjat atau Boki Bulan.
Kemudian nama Totolu ( Tau Tolu ) berubah menjadi Tontoli sebagaimana yang tertulis dalam Lange-Contrack 5 juli 1858 yang ditandatangani antara Dirk Francois dari pihak belanda dengan Raja Bantilan Syafiuddin. Tahun 1918 berubah menjadi Tolitoli, seperti yang terlihat dalam penulisan Korte verklaring yang di tandatangi Raja Haji Mohammad Ali dengan pemerintah Hindia Belanda, yang ketika itu ibukota kerajaan berpusat di Nalu.
Bahasa yang dipakai sebagai alat komunikasi sehari-hari adalah bahasa Geiga. Bahasa ini menurut ahli bahasa AC kruyt dan Dr Adriani termasuk dalam kelompok bahasa-bahasa Tomini, yang daerah sebarnya antara desa Towera di wilayah kabupaten Donggala samapi ke desa Molosipat yang berbatasan dengan kabupaten Gorontalo.
Sepanjang sejarah yang diketahui, Tolitoli mempunyai pemerintahan yang bersifat kerajaan. Puncak kejayaannya dicapai setelah masuknya agama islam, sekitar abad ke-17, yang dibawa mubalig dari kesultanan ternate. Pada waktu itu masyarakat benar-benar merasakan keamanan dan ketentraman dalam wilayah kerajaan. Sejak itu hubungan kerajaan Tolitoli dengan Kesultanan Ternate terjalin baik, hingga kerjaan Tolitoli masuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate. Mulai saat itu Raja yang berkuasa di Tolitoli sudah di nobatkan di Ternate. Salah satu Raja yang mendapat kehormatan untuk dilantik dan dinobatkan di ternateadalah Raja Imbaisug yang dengan kebesaran berlayar dengan perahu Banggakasaan menuju Ternate. Namun sayang sekali pada waktu kembali ke Tolitoli meninggal dalam perjalanan, kemudian dimakamkan di Tuweley. Raja Imbaisug dan saudaranya Djamalul Alam dipilih bersama-sama di Ternate tahun 1773, dengan suatu ketentuan bahwa apabila Imbaisug meninggal dunia harus digantikan oleh Djamalul Alam.
Setelah pengakuan kerjaan Tolitoli terhadap kesultanan Ternate, pada saat itu pula untuk pertma kalinya raja dari kerajaan Tolitoli bergelar “ Tamadikanilantik “ yang untuk selanjutnya bergelar Sultan. Kesultanan adalah suatu bentuk pemerintahan islam, maka dengan sindirinya kerajaan Tolitoli menjadi sebuah kerajaan islam dengan nama Kesultanan Tolitoli. Pada saat itu mulai terjadi perubahan hukum adat serta adat-istiadat lainnya yang kesemuanya disesuaikan denganajaranislam.DisiniAgamaIslamyang mewarnai corak kehidupan masyarakat sekaligus sebagai sendi-sendi adatnya. Maka tidak mengherankan manakala unsur-unsur agama islam melatarbelakangi upacara-upacara tertentu, seperti upacara mandisafar, mauludan, khitanan, dan perkawinan.    
Setelah Sultan Djamalul Alam mangkat, digantikan putra sulungnya: Sultan Mirfaka, Tetapi memerintah di wilayah Dondo. Untuk Tolitoli diserahkan kepada Putra Keduanya, Muhiddin yang tidak lagi bergelar Sultan,melainkan bergelar Raja yang diberi julukan Tau Dei Beanna.
Sesudah Raja Muhiddin mangkat digantikan Oleh Mohammad Yusuf Syaiful Muluk Muidjuddin, yang bergelar Malatuang ( artinya yang patut disembah ). Oleh rakyatnya diberi julukan Tau Dei Buntuna. Dengan demikian jelas bahwa sebelum bangsa belanda masuk wilayah ini, kerajaan Tolitoli sidah ada dan diperintah oleh seorang Raja yang disebut Gaukan.
Menurut sejarah Raja Mohammad Yusuf “Malatuang” Syaiful Muluk Muidjuddin adalah Raja yang sudah diadatkan oleh Rakyat jauh sebelum kedatangan bangsa belanda, karena tercatat masa pemerintahannya berlangsung dari tahun 1781-1812. Makamnya di Buntuna, Desa Tambun, Kecamatan Baolan. Dalam menjalankan pemerintahan, Raja adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang dibantu oleh sejumlah pejabat kerajaan yang diserahi tugas-tugas tertentu. Oleh karena pada waktu itu rakyat belum begitu banyak, maka perangkat kerajaan juga sangat sederhana.
Pada dasarnya perangkat kerajaan yang bertugas sebagai membantu Raja, hanya terdiri dari :

  1.  Jogugu: sebagai penghubung raja dengan pihak luar dan menjalankan kekuasaan raja sehingga pada saat-saat tertentu mewakili Raja.
  2. Kukum: bertugas memberikan penerangan hukum sekaligus penasihat raja
  3. Kapitalau: bertugas mengurus segala sesuatu di sektor lautan
  4. Kepala Adat: bertugas pada upacara-upacara Adat yang dilakukan Raja.
  5. Kapita Raja: bertugas mengapit Raja
  6. Pahalaan: bertugas sebagai penjaga keamanan Raja atau istana dan mengurus hal-hal yang menyangkut urusan rumah tangga istana sekaligus sebagai pengawal Raja.
  7.  Babato: bertugas membidangi masalah Syara.
  8.  Mayor: bertugas pada Eselon bawah pemerintahan yang berfungsi sebagai penguasa dalam satu satuan masyarakat terkecil.
  9.  Malinu: bertugas sebagai memberitahukan hal-hal yang penting pada masyarakat.
Seluruh pejabat kerajaan dalam menjalankan tugasnya langsung bertanggung jawab kepada raja. Sedangkan yang berhak dinobatkan menjadi Raja, harus mempunyai garis keturunan langsung dari Raja.
Menurut cerita bahwa Raja Mohammad Yusuf Malatuang, pada masa pemerintahannya cukup arifbijaksana, sangat adil, serta cukup memperhatikan kehidupan rakyanya, sehingga walau Raja telah wafat, namanya tetap dikenang oleh Rakyat.

Pengagungan rakyat terhadap Raja, sampai sekarang masih terdengartuk Syair yang sering didendangkan oleh rakyat Tolitoli yang berbunyi:


Sadang ilaeng Bona
Gaukan Dei Buntuna
Mau namo bukuna
Impong suang lipuna.
Yang artinya :
                Daun pohon Bona
                Raja di Buntuna
                Walaupun tinggal Tulangnya
                Tetap diingat oleh isi negerinya.

Begitu banyak Raja yang menangani pemerintahan pada jamannya sehingga tidaklah mengherankan manakala rakyat menunjukkan rasa patuh terhadap Raja. Hari ini nampak terlihat bilamana rakyat berbicara tidak akan menyebut nama Raja tetapi mereka menggantinya dengan sebutan “KALANGAN” yang artinya mengandung pengertian sesuatu yang sangat di agungkan.

                Selanjutnya sikap rakyat bilamana akan berjabat tangan dengan Raja maka mereka terlebih dahulu memegang kepalanya masing-masing sebagai suatu isyarat bahwa kepala adalah bagian tubuh yang dimuliakan manusia sehingga kaitannya begitu pulalah rasa kemuliaan mereka terhadap Raja.
             
Raja mohammad Yusuf Malatuang waktu itu berkedudukan di Kalangkangan pada tahun 1812. Raja ini mendirikan sebuah istana di kampung Nalu.istana itu kemudian di berinama BALE DAKO ( istana besar ) atau BALE MASIGI ( Istana yang puncaknya seperti kubah masjid ). Disinilah pusat kegiatan pelayaran kerajaan Tolitoli.

Kini bekas Istana Raja di kampung Nalu dekat Tolitoli itu hanya tinggal sebuah PUTUU ( Tiang Agung ) yang tetap berdiri sampai sekarang dekat sebuah pertigaan jalan.

                Setelah Raja Malatuang mangkat maka pimpinan kerajaan diserahkan kepada putranya bernama BANTILAN SYAFIUDDIN di mana pada masa pemerintahan Raja inilah bangsa belanda masuk ke Kerajaan Tolitoli.